Ambarawa, Jejak-Jejak yang Tertinggal

Terkadang, kabut tipis masih dapat kita lihat turun menyelimuti Kota Ambarawa yang dingin. Sesekali, desir angin gunung yang bertiup semakin menambah kelu hingga menusuk tulang. Lampu pijar yang masih bertegangan 110 volt bergelantungan menerangi jalanan pada seruas tiang kayu trembesi nan kokoh. Televisi masih begitu mewah dengan dua warna dasar, hitam dan putih. Masyarakat kelas menengah ke bawah berkerumun di depan kantor kecamatan dan PLN, sekedar untuk menyaksikan satu-satunya siaran televisi pemerintah yang berakhir pukul 22.00 WIB.

Kantor Kecamatan Ambarawa, dulunya adalah Kantor Kawedanan Ambarawa
Kantor Kecamatan Ambarawa, dulunya adalah Kantor Kawedanan Ambarawa

Ambarawa 1970an begitu sederhana. Namun pesona dan pukaunya tak menyurutkan penduduk lokal untuk tetap bertahan, sekedar memimpikan Ambarawa yang lebih baik, maju dan berkembang seiring pesatnya kota-kota sekitar. Perlu diketahui juga, Ambarawa pernah tercatat sebagai Kota Kawedanan. Bahkan hingga kini sekalipun, kantor Kawedanan masih berdiri kokoh lengkap dengan pendoponya. Seiring waktu, kantor tersebut kini dijadikan kantor Kecamatan Ambarawa.

Depo Stasiun Ambarawa dari Udara
Depo Stasiun Ambarawa dari Udara

Terbersit satu kenangan ketika membicarakan Ambarawa era 70 hingga 80an. Ambarawa yang notabene merupakan kota perlintasan antara Semarang dan Yogyakarta, seolah berubah menjadi kota mati pasca petang menjelang. Masyarakat lebih memilih untuk tinggal di rumah atau maksimal menonton bioskop di Garuda ataupun Jaya Bhakti Theater. Dua tempat ini kini juga telah raib, berubah menjadi pertokoan dan lahan mangkrak.

Whatta story…

Stasiun Kereta Api Ambarawa dari Udara
Stasiun Kereta Api Ambarawa dari Udara

Terlepas dari minimnya hiburan, Ambarawa hanya menyisakan satu tempat makan kala malam tiba. Seroja, hampir semua penghuni malam di Ambarawa tentu mengenal tempat legendaris ini. Seroja adalah satu-satunya warung makan yang buka 24jam. Tak heran ketika malam berselang, tempat ini menjadi satu-satunya warung makan yang masih ‘hidup‘, buka dan melayani sepanjang hari. Ironisnya kini, warung makan andalan yang mengambil tempat di lorong gang masuk menuju kampung ini, kini juga telah tergusur, pindah ke Pusat Kuliner Surobojo yang dulunya adalah bekas Pasar Surobojo. Sekaipun di tempat yang cukup memadai, mewah dan juga masih melayani sepanjang 24 jam, Seroja justru kehilangan pamornya. Inilah harga sebuah perubahan.

img-20170111-wa0002.jpgTerlepas dari unsur letak dan histori yang menelan kejayaan Seroja, adalah sebuah fakta betapa Ambarawa kini telah diserbu oleh kaum pendatang. Di sepanjang trotoar berdiri tenda-tenda Lamongan yang menawarkan aneka penyetnya, Rumah Makan Padang juga bertebaran di seoanjang ruas jalan utama, bahkan kedai-kedai dan kafe mini mulai marak di Ambarawa.

Another Story?! Yes, this is Ambarawa right even now…

Ambarawa dari Udara
Ambarawa dari Udara

Bagi masyarakat di kota kecil di kaki gunung ini, pesatnya perkembangan Ambarawa tentu menjadi berkah. Betapa Ambarawa yang dulunya ibarat kota mati, kini perlahan berubah menjadi kota dengan sejuta lima gempitanya. Walau butuh lebih dari 20 tahun sekedar untuk menggeliatkan malam di Ambarawa, hal ini kiranya tetap setimpal dengan apa yang dapat kita nikmati saat ini.

Palagan Ambarawa dari Udara
Palagan Ambarawa dari Udara

Semoga kota kecil penuh sejarah ini akan terus berkembang, sejajar dengan kota-kota lain di sekitarnya, dengan tanpa menghilangkan jejak-jejak langkah dan sejarah yang mengiringinya.

Semoga…

img-20161028-wa0012.jpg

Tinggalkan komentar